Minggu, 24 Oktober 2010

Mungkinkah Budaya Belajar Berubah Jadi Budaya Kekerasan



Tawuran, mungkin kata itu sudah tidak asing lagi di telinga kita saat ini, Hampir setiap hari kita mendengar berita  di televisi terjadi tawuran, baik itu dilakukan oleh pelajar mulai dari tingkat menengah pertama bahkan sampai tingkat perguruan tinggi, kalau tidak dilakukan oleh para anggota masyarakat antar kampung. Akan tetapi kita lebih sering mendengar dan melihat tawuran yang dilakukan oleh para pelajar yang notabene mereka adalah para manusia-manusia pembelajar, dimana tugas mereka adalah belajar mengenai ilmu pengetahuan, bukan masalah ilmu tentang kekerasan.

Mungkinkah rasa tenggang rasa dan saling menghormati diantara sesama penduduknya di negara ini telah luntur, Terus kemudian apa yang mereka peroleh dari tawuran itu? rasa gengsi atau kah yang lain, mungkin yang paling apes adalah ketangkap polisi, Ketiaka biasanya tawuran dilakukan di tempat yang jauh dari pantauan aparat, tapi hal itu mungkin tidak berlaku sekarang, mereka bahkan mulai berani tawuran di depan kantor kepolisian, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Padang Sumatera Barat. Apakah sepeti ini potret pendidikan di Indonesia, ataukah hanya "oknum" semata. Tentunya ketika dicari siapa yang salah, mungkin tidaklah etis, tapi pada dasarnya ini semua adalah tugas kita semua, bukan hanya satu golongan saja.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada yang salah dengan pendidikan di negara ini, yang seharusnya menghasilkan para penerus bangsa yang nantinya dapat membanggakan bangsa ini bukan hanya "memalukan" bangsa ini nantinya. Apakah budaya belajar di kalangan siswa telah berubah haluan 180 derajat menjadi budaya kekekarasan?. Memang dapat diakui bahwa tidak semua sekolah terjadi hal tersebut (tawuran), akan tetapi kenapa sekolah yang seharusnya wadah untuk menuntut ilmu pengetahuan malah dijadikan sebagai sarana untuk menghimpun "preman-preman kecil". 

Sekolah sebagai pusat pendidikan hendaknya mampu menjadi penghambat terbentuknya "para preman-preman kecil" tersebut, Dan hal ini membutuhkan dukungan dari semua pihak, mulai dari orang tua, masyarakat dan lain sebagainya. Pihak-pihak lain tersebut diperlukan sebagai upaya pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan siswa diluar jam sekolah. Akan tetapi ketika kita tengok jauh ke dalam pelosok negeri ini, bahwasanya semua pendidikan itu diserahkan semua kepada sekolah, apapun yang terjadi belajar adalah tugas sekolah. Padahal ketika dihitung waktu anak untuk belajar di sekolah dengan diluar sekolah lebih banyak diluar sekolah, sehingga ketika terjadi sesuatu menimpa siswa kemudian yang menjadi sasarannya adalah sekolah. Dan hal ini merupakan suatu kesalahan yang besar. Tugas dan tanggung jawab atas pendidikan siswa adalag tugas bersama antar sekolah dan orang tua siswa, dan hal itu tidak akan pernah bisa terlepas.

Oleh sebab itu, pekerjaan kita saat ini adalah mengembalikan suatu arus yang sudah "sedikit" berbelok dari jalur yang semestinya untuk mengembalikan pada jalur yang semestinya, yaitu menjadikan sekolah sebagai tempat untuk belajar, tempat untuk mengenyam pelajaran, tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan bagi siswa-siswa sehingga pada akhirnya dapat mecetak para penerus bangsa yang handal dan mampu mengharumkan nama baik bangsa, bukan menjadikan sekolah sebagai tempat siswa untuk mendapatkan ilmu kekerasan yang dapat melanggengakan budaya premanisme yang nantinya hanya mencetak "preman-preman" di masa mendatang. Dan hal itu tidaklah mudah, butuh kerjasama antara sekolah dengan pihak-pihak lain seperti halnya orang tua, kepolisian dan lain sebagainya. Orang tua bertugas mengawasi anak selama berada di lingkungan masyarakat dan kepolisian bertugas memberikan berbagai penyuluhan kepada siswa-siswa di setiap sekolah. Sehingga pada akhirnya pendidikan dapat dikembalikan pada hakekat semula yaitu upaya untuk memanusiakan manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar